Posted by: pakmansur | November 12, 2009

Pembeli Adalah Raja, tetapi Penjual Adalah Maharaja

Tiba-tiba saja komunitas sasak terguncang oleh istilah paling romantis “Pulang Kampung”. Pulang ke kampung halaman memang tidak dimiliki semua orang. Mungkin hanya separuh penduduk dunia ini yang punya istilah pulang kampung, setengah dari itu adalah orang Indonesia, dan setengah Indonesia itu adalah orang Lombok. Mungkin setengah orang Lombok itu adalah sasak diaspora, dan hanya setengah sasak diaspora yang mau pulang kampung. Mungkin juga hanya setengah dari yang pulang kampung itulah yang merasakan “Pulang Kampung “ yang romantis.

Seorang teman dusun saya bertanya tentang kapan saya akan pulang ke kampung halaman, saya bukannya menjawab tetapi malah balik bertanya, “kampung halaman mana yang anda maksud?”, dengan pasti dia menjawab “Lombok lah …mana lagi?”. Dengan sedikit menjelaskan saya jawab “ Benar, kampung saya memang di Lombok, tetapi halaman (baca: penghidupan) saya di Sibolga”. “Lalu kemana saya harus pulang”. Setelah itu diapun bingung juga. Sayapun lebih menegaskan lagi bahwa ketika liburan di Lombok habis, sayapun akan mengatakan “Saya akan pulang ke Sibolga”, saya tidak mengatakan “Saya akan merantau lagi ke Sibolga”.

Lalu teman itu melanjutkan ceritanya kalau sebenarnya dia punya banyak sekali kawan yang tinggal dan berkembang di luar daerah bahkan di luar negeri. Dilanjutkan dengan keheranannya mengapa tidak ada niatan dari raja-raja lombok untuk memanggil pulang mereka ke kampung dan atau menetap kembali di kampung halamannya. Memang ada yang mereka panggil bahkan paksa untuk kembali tetapi itu sesuai selera mereka, bukan sesuai kebutuhan mereka, yah… palingan keluarga mereka, atau yang diakuinya sebagai kelurganya saja….Mentang-mentang mereka raja sih… kayaknya mereka bebas menentukan siapa yang mereka beli…. Katanya agak putus asa. Lho.. jadi mereka sangat faham kalau “ PEMBELI ADALAH RAJA” kata saya, berarti mereka menganggap lombok adalah miliknya sehingga dialah yang menentukan siapa-siapa yang berhak mengurus lombok itu, dan mungkin sasak diaspora dianggap sebagai penjual ide dan gagasan saja yang mau dibeli atau tidak bukan urusan orang lain (Untung mereka tidak bilang bukan urusan Tuhan juga). Kecuali di kasih (datang/pindah sendiri) mereka ambil sebagai pesuruhnya dan tidak akan diberi peluang berkembang dan untuk menutupi kelemahannya mereka tidak segan-segan bilang “Eh semeton…jangan lupa kampung halaman ya!”

Saya menebak-nebak kalau kecendrungan inilah yang membuat sasak diaspora sampai saat ini enggan untuk pulang kampung, “Mau pulang tidak terpakai, nggak pulang dianggap lupa …” kata seorang semeton. “Jangan pulang … kalau 3 bulan berikutnya kamu akan momot meco juga” cegah semeton lainnya. “Ingin ikut membangun kalaupun tidak harus hijrah” pilihan semeton lainya. “tunggu kita kaya dan kuat dulu…” saran seorang semeton lagi. Dengan sedikit geram saya berteriak kalau datu-datu lombok merasa sebagai “PEMBELI ADALAH RAJA” maka diaspora harus membungkam mereka dengan prinsip “PENJUAL ADALAH MAHARAJA” .

Sebenarnya seseorang tidak mudah untuk mengambil keputusan pulang kampung, banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan banyak untung rugi yang harus diperhitungkan, terlebih bagi seorang diaspora. Pengakuan sebagai diaspora bukanlah simbol belaka, melainkan buah dari perjuangan panjang dan melelahkan tanpa mengharap apapun dari kampung. Kalau ada keinginan para sasak diaspora pulang kampung sebenarnya adalah wujud kepedulian bukan sebuah kewajiban, adalah sebuah keperluan bukan sebuah kebutuhan. Betapa sasak diaspora lelah untuk mengekang warisan budaya yang melekat untuk sekedar melepaskan potensinya yang terkubur di kampung. Betapa sasak diaspora sibuk untuk memilih karakter yang terlanjur identik untuk sekedar membuat pilihan yang berbeda. Lalu setelah semua itu dilalui dengan merasakan kekuatan makna diaspora, siapakah yang berhak menyuruh kita pulang kampung?

Memang seorang raja dapat memilih dengan congkaknya siapa-siapa yang akan menjadi bawahannya, dan dapat juga menetukan siapa-siapa orang yang berhak mendekatinya, dan bahkan bisa memberantas siapa saja orang yang akan melawanya. Tetapi diatas RAJA ada MAHARAJA. Bagi diaspora kemampuan bertahan dan berkembang tanpa asuhan tanah kelahiran adalah bukti bahwa potensi mengembangkan tanah kelahirannya pasti ada. Tetapi sebagai Maharaja, diaspora berhak dan dapat memilih Raja yang tepat untuk diajak duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Maharaja tahu persis dimana dia dibutuhkan bukan sekedar diperlukan, dan diaspora tahu kapan dia berbagi, kapan dia akan hijrah, dan kapan dia pulang ke kampung dengan atau tidak membawa serta halamannya.

“Kamipun tidak ingin pulang hanya dibawa dalam gorong batang” pesan seorang semeton, yang menyiratkan bahwa kalau tidak bisa berbuat, kalau tidak diberi ruang hati, kalau tidak dipandang sebagai pemilik lombok, kalau Raja tidak sanggup membeli Maharaja, buat apa kita pulang. Kalaupun pulang hanyalah untuk keperluan semata bukan sebuah kebutuhan, karena sebenarnya yang harus membeli adalah para raja sedangkan Maharaja boleh menjual boleh tidak. Dan kalaupun nanti diaspora pulang kampung adalah semata atas nama keinginan, kepedulian terhadap nasib seluruh keluarga yang ada di bangsa sasak.


Leave a comment

Categories